MasbertNews--Bila kita pergi ke kota Surabaya sudah pasti kita teringat dengan Tugu Pahlawan yg sudah menjadi ikon dr ibu kota Jawa Timur ini. Namun bukan rahasia umum apabila ada suatu tempat yg terkenal hingga ke mancanegara yakni gang "DOLLY"sebuah tempat bisnis esek esek yang terbesar di Indonesia bahkan terbesar se Asia tenggara.
Bicara tentang Dolly ini, tentu tak lepas dari kisah tante Dolly,Wanita cantik asal Belanda yang konon sebagai perempuan pertama yang mempelopori kawasan itu. Hebatnya lagi keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini namun tidak meneruskan bisnis nafsu itu lagi.
Sebagai pendiri sebuah komplek di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya,maka wanita dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh pendiri terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Pada awal mulanya tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Selangkah dengan perkembangan jaman ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali ke Surabaya.
Bukan hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, akan tetapi warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan gadis gadis dr tante dolly menjadikan kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah wanita penghibur.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, Pelacur di bawah umur, Germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Bicara tentang Dolly ini, tentu tak lepas dari kisah tante Dolly,Wanita cantik asal Belanda yang konon sebagai perempuan pertama yang mempelopori kawasan itu. Hebatnya lagi keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini namun tidak meneruskan bisnis nafsu itu lagi.
Sebagai pendiri sebuah komplek di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya,maka wanita dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh pendiri terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Pada awal mulanya tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Selangkah dengan perkembangan jaman ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali ke Surabaya.
Bukan hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, akan tetapi warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan gadis gadis dr tante dolly menjadikan kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah wanita penghibur.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, Pelacur di bawah umur, Germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.